Pages

2PA07 - Iga Puspitasari - Kesehatan Mental - Id dalam Diri Seorang Nekrofilia

Rabu, 01 Juli 2015



Id dalam Diri Seorang Nekrofilia










Disusun Oleh      :

                                       Nama         : Iga Puspitasari

                                      NPM           : 14513212

                                      Kelas          : 2PA07
                                      
                                       Dosen        : Puti Anggraini





FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2014-2015







BAB I
Latar Belakang

Didunia yang mulai modern ini, sudah banyak sekali hal-hal yang tidak terduga terjadi dikalangan masyarakat. Banyaknya terjadi fenomena-fenomena diluar nalar manusia yang mungkin tidak banyak yang tau dengan fenomena yang tidak terduga itu. Masyarakat dengan kehidupannya yang individualis serta perubahan kebudayaan setempat yang menjadi tidak terjaga dan mulai terabaikan, menjadi factor banyaknya kejadian-kejadian yang terjadi diluar akal sehat manusia.
Sebagaimana kita ketahui, manusia mempunyai kodrat berpasang-pasangan dengan lawan jenis yang sesama manusia guna memperoleh keturunan. Tetapi, bagaimana saat ini? Saat ini bahkan ada saja yang tidak sesuai dengan ketentuan tersebut. Seperti manusia yang berpasangan dengan sesama jenis (homosexual), manusia yang bersetubuh dengan hewan (zoophilia), manusia yang bersetubuh dengan mayat (necrophilia) dan sebagainya.
Ketika kita mendengar atau bahkan mengetahui tentang seseorang menginginkan kontak seksual dengan mayat apa yang ada dibenak kita ? Sebagian orang yang tidak mengetahui kelainan ini mungkin akan merasa itu mustahil tapi pada kenyataannya hal seperti ini bisa saja terjadi. Dalam penulisan inilah akan dibahas lebih lanjut apa itu nekrofilia. Istilah nekrofilia (necrophilia) yaitu kelainan seksual dimana seseorang menginginkan kontak seksual dengan mayat. Dalam nekrofilia, terdapat dua jenis fenomena: (1) Nekrofilia Seksual, yaitu keingin untuk berhubungan seks dengan mayat. (2) Nekrofilia Non-Seksual, yaitu keinginan untuk menyentuh, berdekatan, memandangi, bahkan memotong tubuh mayat.
Gangguan kepribadian nekrofilia ini adalah suatu gangguan yang bisa saja didasari oleh kecemasan dasar (basic anxiety) dan juga id yang mendominasi ego dan superego. Dalam kasus ini, pelaku yaitu Lee mahasiswa dari Jilin University ini dianggap memiliki gangguan kepribadian nekrofilia sesuai dengan bagaimana ciri-ciri yang menunjukkan perilaku tersebut. Pelaku yang diduga mengalami gangguan kepribadian tersebut mendapatkan hukuman mati.

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah apa yang dimaksud dengan nekrofilia berdasarkan dari pendapat tokoh seperti Erich Fromm yang membahas tentang nekrofilia dalam teorinya, Psikoanalisis Humanistis. Siapa yang terlibat dalam kasus ini dan kapan terjadinya kasus tersebut. Teori apa saja yang dimasukkan kedalam kasus nekrofilia tersebut. Bagaimana hasil analisis dari kasus ini setelah mempelajari kasus beserta teori-teori yang ada.
Tujuan penulis membuat makalah ini untuk lebih mengetahui apa penyebab dari nekrofilia tersebut. Untuk menganalisis suatu kasus nekrofilia dan mengetahui apa yang menyebabkan pelaku melakukan hal tersebut. Dan untuk mengetahui tindakan apa yang baik untuk menyikapinya berdasarkan terapi dari teori tokoh yang ada.







BAB II
Landasan Teori

A.   Definisi Nekrofilia
Nekrofilia biasa disebut juga dengan thanatophilia atau necrolagnia. Itu merupakan kelainan hasrat dalam tubuh manusia karena tertarik untuk bercinta dengan tubuh orang meninggal. Pertama kali, istilah itu muncul sekitar tahun 1850 dalam studi keilmuan. Menurut sejarah, yang pertama memunculkannya adalah Joseph Guislain, seorang ahli kejiwaan asal Belgia. Penyebabnya beragam, dan kebanyakan dialami mereka yang trauma terhadap hal tertentu. Beberapa kondisi ini juga memengaruhi: takut ditolak pasangan, menginginkan pasangan yang tak bisa menolaknya, atau kekhawatiran untuk meninggal dunia.
JP Rosman dan PJ Resnick (1989) mengklasifikasikan penyebab nekrofilia berdasarkan persentase yang ditemukan dalam beberapa kasus nyata yakni 68 persen karena ingin pasangan yang tak bisa melawan, 21 persen didorong keinginan bersatu dengan pasangan yang telah meninggalkan, 15 persen karena daya tarik seksual dari mayat, 15 persen untuk alasan kenyamanan, dan 11 persen karena keinginan memperbaiki harga diri yang rendah dengan menerapkan kuasa penuh atas mayat.
Sehubungan dengan materi penulisan tentang nekrofilia, penulis menghubungkan gangguan nekrofilia tersebut dengan beberapa teori dari beberapa tokoh guna lebih memperdalam pada penulisan analisis kasus. Berikut adalah penjelasan dari teori-teori yang digunakan untuk menganalisa kasus tersebut :
1.      Erich Fromm : Psikoanalisis Humanistik
Psikoanalisis Humanistis berasumsi bahwa terpisahnya manusia dengan dunia alam menghasilkan perasaan kesendirian dan isolasi, kondisi yang disebut sebagai kecemasan dasar (basic anxiety). Kesadaran diri turut ambil bagian dalam adanya perasaan kesendirian, isolasi, dan kehilangan tempat berpulang. Untuk melarikan diri dari perasaan-perasaan ini, manusia berusaha untuk bersatu kembali dengan alam dan sesama manusia. Oleh karena kecemasan dasar menghasilkan rasa keterasingan dan kesendirian yang menakutkan, maka manusia berusaha untuk lari dari kebebasan melalui berbagai macam mekanisme pelarian. Dalam Escape from Freedom, Fromm menyebutkan tiga mekanisme dasar dari pelarian yaitu Authoritarianism, Destructiveness, Comformity.
Sifat merusak atau Destuctiveness berasal dari perasaan kesendirian, keterasingan, dan ketidakberdayaan. Sifat ini merupakan mencari jalan untuk menghilangkan orang lain. Dengan menghancurkan orang atau objek, seseorang atau sebuah bangsa berusaha untuk mendapatkan kembali  rasa kekuasaan yang hilang. Orang-orang dengan sifat merusak menghapuskan banyak hal dari dunia luar sehingga memperoleh keterasingan yang tidak diterima di masyarakat.
Fromm menyatakan tiga gangguan kepribadian yang berat−nekrofilia, narsisme berat, dan simbiosis inses. Istilah “nekrofilia” (necrophilia) berarti cinta akan kematian dan biasanya mengacu pada kelainan seksual dimana seseorang menginginkan kontak seksual dengan mayat. Fromm (1964, 1973) menggunakan istilah nekrofilia dalam arti yang lebih umum untuk menunjukkan ketertarikan akan kematian. Mereka mendapat kesenangan dengan menghancurkan kehidupan. Semua orang bertingkah laku agresif dan destruktif sewaktu-waktu, namun keseluruhan gaya hidup orang-orang dengan nekrofilia adalah seputar kematian, kehancuran, penyakit, dan pembusukan. Penyebabnya beragam dan kebanyakan dan dialami mereka akan hal tertentu. Beberapa kondisi ini juga mempengaruhi, seperti: takut ditolak pasangan, menginginkan pasangan yang tak bisa menolaknya, atau ke khawatiran untuk meninggal dunia.
J.P Rosman dan PJ Resnick (1989) mengkalirifikasikan penyebab nekrofilia berdasarkan presentase yang ditemukan yakni, 68% karena ingin pasangan yang tidak bisa melawan, 21 % didorong keinginan bersatu dengan pasangan yang telah meninggal, 15% karena daya tarik seksual dari mayat, 15% untuk alasan kenyamanan, dan 11% karena keinginan memperbaiki harga diri yang redah dengan menerapkan kuasa penuh atas mayat.
Orang-orang yang memiliki tiga gangguan seperti itu membentuk apa yang disebut Fromm dengan sindrom pembusukan (syndrome of decay). Ia membandingkan orang-orang patologis ini dengan mereka yang memiliki sindrom pertumbuhan (syndrome of growth) yang terbentuk oelh kualitas yang berlawanan, yaitu biofilia, cinta, dan kebebasan positif. Kedua sindrom ini adalah bentuk ekstrem dari perkembangan. Kebanyakan orang memiliki kesehatan psikologis rata-rata.

2.      Sigmund Freud : Psikoanalisis
Dalam Psikoanalisis, Freud memperkenalkan model structural yang terdiri dari tiga bagian. Bagian yang paling primitive dari pikiran adalah das Es atau “sesuatu”/”itu” (it) yang diterjemahkan sebagai id. Bagian kedua adalah das Ich, atau “saya” (I), sebagai ego. Bagian terakhir adalah das Uber-Ich atau “saya yang lebih” (over-I) sebagai superego.
Pada individu yang sehat, id dan superego terintegrasi ke dalam ego yang berfungsi baik dan beroperasi harmonis dengan konflik yang minim. Adanya hubungan antara id, ego, superego pada tiga individu secara hipotesis. Pada individu pertama, id mendonimasi ego yang lemah dan superego yang plin-plan sehingga ego tidak mampu menyeimbangkan antara gigihnya tuntutan id. Akibatnya, individu ini terus-menerus memuaskan kesenangannya tanpa memandang apa yang mungkin atau layak. Individu kedua, yang memiliki rasa bersalah serta perasaan inferior dan ego yang lemah, akan mengalami sederetan konflik karena ego tidak bisa mengendalikan tuntutan antara superego dan id yang saling bertentangan, tetapi sama kuat. Sedangkan individu ketiga, yang memiliki ego kuat dan merangkul tuntutan-tuntutan, baik dari id maupun superego, sehat secara psikologis dan maupun memegang kendali atas prinsip kesenangan dan prinsip moralitas.

3.      Psikologi Forensik
Perilaku dapat disebut sebagai kejahatan hanya jika memiliki 2 faktor: 1) mens rea (adanya niatan melakukan perilaku), dan 2) actus reus (perilaku terlaksana tanpa paksaan dari orang lain). Contohnya: pembunuhan disebut kejahatan ketika pelaku telah memiliki niat menghabisi nyawa orang lain, serta ide dan pelaksanaan perilaku pembunuhan dimiliki pelaku sendiri tanpa paksaan dari orang lain. Jika pelaku ternyata memiliki gangguan mental yang menyebabkan niatnya terjadi diluar kesadaran, contoh: perilaku kejahatan terjadi pada saat tidur atau tidak sadar, maka faktor mens rea-nya dianggap tidak utuh, atau tidak bisa secara gamblang dinyatakan sebagai kejahatan, karena orang dengan gangguan mental tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas perilakunya (Davies, Hollind, & Bull, 2008).
Selanjutnya, ketika membicarakan kejahatan kita juga perlu mengidentifikasi pelaku dan korban. Pelaku adalah orang yang melakukan tindakan melanggar hak dan kesejahteraan hidup seseorang, sedangkan korban adalah orang yang terlanggar hak dan kesejahteraan hidupnya. Pada kasus pidana, identifikasi akan berkaitan dengan pembuatan tuntutan dan pertanggungjwaban hukum. Walaupun begitu, terkadang tidak mudah mengidentifikasi pelaku dan korban, terutama pada kasus dimana pelaku adalah korbannya juga, contohnya: pelaku prostitusi sebenarnya juga adalah korban dari perilakunya.
Kejahatan secara umum dapat dibedakan dalam beberapa macam: kejahatan personal (pelaku dan korban kejahatan adalah sama), interpersonal (ada pelaku yang merugikan orang lain), dan kejahatan sosial masyarakat (efek kejahatan pelaku merugikan kehidupan orang banyak di masyarakat). Dari segi pelaksanaannya kejahatan juga bisa dibagi menjadi kejahatan terorganisir (sering disebut kejahatan “kerah putih” yang memiliki sistem dan perencanaan serta keahlian dalam melakukan kejahatan) dan tidak teroganisir (kejahatan yang dilakukan tanpa perencanaan dan dilakukan oleh orang yang belum punya keahlian khusus atau amatir). Secara pidana, ada beberapa contoh perilaku kejahatan: pembunuhan, tindak kekerasan, pemerkosaan, pencurian, perampokan, perampasan, penipuan, penganiayaan, penyalahgunaan zat dan obat, dan banyak lagi yang lain.


B.   KASUS



Tak hanya membunuh dua wanita penghibur yang disewanya, seorang mahasiswa juga bercinta dengan jenazah mereka. Itu dilakukan seorang mahasiswa Jilin University, sebut saja Lee, karena tertekan stres.
Seperti dilansir Daily Mail, Lee yang seorang mahasiswa desain mengaku gagal di banyak kelas. Ia kemudian menyewa wanita penghibur untuk meringankan beban pikirannya. Awal Maret 2013, ia menyewa wanita penghibur berusia 20 tahun bernama Cai.
Suatu pagi, Lee tiba-tiba terbersit untuk bercinta dengan mayat. Tak bisa menolak nafsu konyolnya, ia lantas menggantung Cai. Dari Changchun, Lee mengirim jenazah Cai ke rumahnya di Changpin. Di sanalah ia bercinta. Usai itu, ia memutilasi Cai dan memakamkannya di halaman rumah. Lee tak hanya melakukannya sekali. Akhir bulan yang sama, ia melakukan tindakan serupa pada seorang wanita penghibur lain yang disewanya. Lee mengaku, selama ini ia memang kerap mendapat bisikan soal nekrofilia atau bercinta dengan mayat.
Psikiater forensik yang memeriksanya meyakinkan, Lee tidak mengalami gangguan jiwa. Ia pun harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum. Oleh pengadilan, ia lalu divonis hukuman mati. Lee juga dikenai denda sekitar Rp161 juta untuk keluarga korban.

 

( Dihukum Mati karena Bercinta dengan Mayat, Oleh : Rizky Sekar Afrisia pada Selasa, 31 Desember 2013, 07:52 WIB, VIVANews).
  
C.     ANALISIS KASUS
Dari kasus diatas, Lee merupakan contoh dari seorang dengan gangguan nekrofilia, yaitu suatu gangguan kepribadian dari teori Fromm: Psikoanalisis Humanistik. Lee mempunyai suatu dorongan keinginan untuk melakukan kontak seksual dengan mayat dan juga punya daya tarik dengan mayat. Itu terbukti saat dia mendapat bisikan-bisikan nekrofilia dia membunuh korban saat itu juga dan melakukan kontak seksual setelahnya. Dia bahkan tidak hanya sekali melakukan itu. Ia melakukannya karena semata-mata kecemasan dasar yang dirasakannya. Kasus Lee juga mencontohkan tentang sifat merusak atau Destructiveness dari Psikoanalisis Humanistik Fromm. Destructiveness berarti sifat merusak atau mencari jalan untuk menghilangkan orang lain. Seperti Lee yang mencari jalan untuk  melakukan kontak seksual dengan mayat, pada akhirnya harus menghilangkan nyawa orang lain yaitu korban dengan menggantungnya dan berakhir dengan memutilasinya.
Dalam teori Psikoanalisis, sosok Lee digambarkan seperti id mendominasi ego yang lemah dan superego yang plin-plian yang mengakibatkan Lee terus-menerus melakukan kesenangannya tanpa memikirkan baik buruk dari kesenangannya tersebut dan bagaimana dampaknya. Tanpa ia sadari kesenangannya itu membawanya kepada tindak pidana hukuman mati. Karena id yang mendominasi inilah membuat Lee tidak bisa berfikir logis dan bersifat tidak realistis. Dengan kasus nekrofilia ini, ini menunjukkan bahwa id tidak mempunyai moralitas. Lee melakukan hal seperti ini atas dorongan dari id yang semata-mata dicurahkan untuk memuaskan prinsip kesenangannya (pleasure principle) tanpa peduli apakah kesenangannya tersebut pantas dan sesuai atau tidak dimata masyarakat lainnya.
Kasus Lee ini dalam psikologi forensik, mencakup dua factor yang ada yaitu mens rea dam actus reus. Adanya niatan Lee untuk membunuh korban dan melakukan kontak seksual dan juga Lee melakukannya tanpa paksaan dari siapapun. Tindakan yang dilakukan Lee merupakan suatu tindak pidana seperti pembunuhan, kekerasan, dan juga pemerkosaan terhadap korban yang sudah tidak bernyawa. Tindakannya tersebut dikena hukuman mati karena kejahatannya yang sudah menghilangkan dua nyawa manusia dan atas tindakan yang tidak terpuji lainnya. Lee tidak mendapat keringanan hukuman seperti pelaku dengan gangguan kejiwaan, karena Lee mengalami gangguan kepribadian bukan kejiwaan.


BAB III
Penutup
A.    KESIMPULAN
Nekrofilia adalah cinta akan kematian dan biasanya mengacu pada kelainan seksual dimana seseorang menginginkan kontak seksual dengan mayat. Nekrofilia bukanlah suatu gangguan kejiwaan, melainkan suatu gangguan kepribadian. Nekrofilia mempunya dua jenis fenomena, yaitu nekrofilia seksual dan juga nekrofilia non-seksual. Pada kasus Lee ini merupakan gabungan dari keduanya. Pada penulisan ini digunakan beberapa teori dari beberapa tokoh, seperti Psikoanalisis Humanistik dari Erich Fromm, Psikoanalisis dari Sigmund Freud, dan Psikologi Forensik. Kasus Lee merupakan contoh dari gangguan kepribadian nekrofilia dimana nekrofilia merupakan gangguan kepribadian dari teori Psikoanalisis Humanistik Fromm. Dalam makalah ini, analisis kasus Lee juga menggunakan teori Psikoanalisis Freud dimana id mendominasi ego dan superego yang mengakibatkan kesenangan yang terus-menerus. Oleh karena id yang mendominasi, ini membuat Lee jadi tidak bisa berfikir logis dan realistis. Setelah itu ada Psikologi Forensik, untuk mengetahui factor apa saja yang terdapat dalam kasus tersebut dan apa akibat dari tindakannya itu.

B.     SARAN
              Menurut penulis, gangguan ini bisa mendapatkan terapi dari seorang terapis. Seperti terapi di Psikoterapi Erich Fromm, terapis akan mengarahkan pasien untuk mengungkapkan tentang mimpi-mimpinya. Karena mimpi memiliki arti di balik  individu pemimpi, maka Fromm akan meminta asosiasi pasien terhadap ,ateri mimpi tersebut. Juga bisa menggunakan Teknik Terapeutik Freud melalui asosiasi bebas (free association), dimana pasien diminta untuk mengutarakan setiap pikiran yang muncul dalam benaknya, tanpa memandang apakah pikiran tersebut ada atau tidak ada hubungannya ataupun menimbulkan rasa jijik. Kita juga bisa mengarahkan seorang nekrofilia yang anti-sosial untuk bisa bersosialisasi terhadap lingkungannya agar ia tidak merasa terasingkan dan membantu menghilangkan sikap cemasnya. Mengarahkan padanya bahwa apa yang dia lakukan merupakan suatu hal yang tidak dibenarkan. Membantunya mencari “kesenangan” yang lainnya yang bersifat positif. Menghindarinya dari segala hal yang bersangkutan dengan mayat, seperti tidak bekerja di kamar mayat rumah sakit, bekerja sebagai pemandi mayat, dan lain sebagainya.








DAFTAR PUSTAKA

Feist, J., & Feist, G. J. 2014. Teori Kepribadian, Buku 1 Edisi 7. Jakarta: Salemba Humanika.

Feist, J., & Feist, G. J. 2014. Teori Kepribadian, Buku 2 Edisi 7. Jakarta: Salemba Humanika.

Markam, Suprapti Slamet I.S. Sumarmo. 2003. Pengantar Psikologi Klinis. Jakarta: Penerbit  
Universitas Indonesia (UI-Press).

VIVA News oleh Rizki Sekar Afrisia pada Selasa, 31 Desember 2013, 07:52 WIB.
                    Judul Kasus : Dihukum Mati karena Bercinta dengan Mayat

Mengapa Orang Melakukan Kejahatan? Oleh: Margaretha pada 12 Oktober 2012

Kisah Nyata Seorang Nekrofilis. Oleh: Imam pada 25 Mei 2012




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS