Id
dalam Diri Seorang Nekrofilia
Disusun
Oleh :
Nama
: Iga Puspitasari
NPM :
14513212
Kelas : 2PA07
Dosen : Puti Anggraini
FAKULTAS
PSIKOLOGI
UNIVERSITAS
GUNADARMA
2014-2015
BAB
I
Latar
Belakang
Didunia yang
mulai modern ini, sudah banyak sekali hal-hal yang tidak terduga terjadi
dikalangan masyarakat. Banyaknya terjadi fenomena-fenomena diluar nalar manusia
yang mungkin tidak banyak yang tau dengan fenomena yang tidak terduga itu.
Masyarakat dengan kehidupannya yang individualis serta perubahan kebudayaan
setempat yang menjadi tidak terjaga dan mulai terabaikan, menjadi factor
banyaknya kejadian-kejadian yang terjadi diluar akal sehat manusia.
Sebagaimana
kita ketahui, manusia mempunyai kodrat berpasang-pasangan dengan lawan jenis yang
sesama manusia guna memperoleh keturunan. Tetapi, bagaimana saat ini? Saat ini
bahkan ada saja yang tidak sesuai dengan ketentuan tersebut. Seperti manusia
yang berpasangan dengan sesama jenis (homosexual),
manusia yang bersetubuh dengan hewan (zoophilia),
manusia yang bersetubuh dengan mayat (necrophilia)
dan sebagainya.
Ketika
kita mendengar atau bahkan mengetahui tentang seseorang menginginkan kontak
seksual dengan mayat apa yang ada dibenak kita ? Sebagian orang yang tidak
mengetahui kelainan ini mungkin akan merasa itu mustahil tapi pada kenyataannya
hal seperti ini bisa saja terjadi. Dalam penulisan inilah akan dibahas lebih
lanjut apa itu nekrofilia. Istilah nekrofilia (necrophilia) yaitu kelainan seksual dimana seseorang menginginkan
kontak seksual dengan mayat. Dalam nekrofilia, terdapat dua jenis fenomena: (1)
Nekrofilia Seksual, yaitu keingin untuk berhubungan seks dengan mayat. (2)
Nekrofilia Non-Seksual, yaitu keinginan untuk menyentuh, berdekatan,
memandangi, bahkan memotong tubuh mayat.
Gangguan
kepribadian nekrofilia ini adalah suatu gangguan yang bisa saja didasari oleh
kecemasan dasar (basic anxiety) dan
juga id yang mendominasi ego dan superego. Dalam kasus ini, pelaku yaitu Lee
mahasiswa dari Jilin University ini dianggap memiliki gangguan kepribadian
nekrofilia sesuai dengan bagaimana ciri-ciri yang menunjukkan perilaku
tersebut. Pelaku yang diduga mengalami gangguan kepribadian tersebut
mendapatkan hukuman mati.
Rumusan
masalah dalam makalah ini adalah apa yang dimaksud dengan nekrofilia berdasarkan
dari pendapat tokoh seperti Erich Fromm yang membahas tentang nekrofilia dalam
teorinya, Psikoanalisis Humanistis. Siapa yang terlibat dalam kasus ini dan
kapan terjadinya kasus tersebut. Teori apa saja yang dimasukkan kedalam kasus
nekrofilia tersebut. Bagaimana hasil analisis dari kasus ini setelah
mempelajari kasus beserta teori-teori yang ada.
Tujuan
penulis membuat makalah ini untuk lebih mengetahui apa penyebab dari nekrofilia
tersebut. Untuk menganalisis suatu kasus nekrofilia dan mengetahui apa yang
menyebabkan pelaku melakukan hal tersebut. Dan untuk mengetahui tindakan apa
yang baik untuk menyikapinya berdasarkan terapi dari teori tokoh yang ada.
BAB
II
Landasan
Teori
A. Definisi
Nekrofilia
Nekrofilia
biasa disebut juga dengan thanatophilia atau necrolagnia. Itu
merupakan kelainan hasrat dalam tubuh manusia karena tertarik untuk bercinta
dengan tubuh orang meninggal. Pertama kali, istilah itu muncul sekitar tahun
1850 dalam studi keilmuan. Menurut sejarah, yang pertama memunculkannya adalah
Joseph Guislain, seorang ahli kejiwaan asal Belgia. Penyebabnya beragam, dan
kebanyakan dialami mereka yang trauma terhadap hal tertentu. Beberapa kondisi
ini juga memengaruhi: takut ditolak pasangan, menginginkan pasangan yang tak
bisa menolaknya, atau kekhawatiran untuk meninggal dunia.
JP Rosman
dan PJ Resnick (1989) mengklasifikasikan penyebab nekrofilia berdasarkan
persentase yang ditemukan dalam beberapa kasus nyata yakni 68 persen karena ingin
pasangan yang tak bisa melawan, 21 persen didorong keinginan bersatu dengan
pasangan yang telah meninggalkan, 15 persen karena daya tarik seksual dari
mayat, 15 persen untuk alasan kenyamanan, dan 11 persen karena keinginan
memperbaiki harga diri yang rendah dengan menerapkan kuasa penuh atas mayat.
Sehubungan dengan materi penulisan
tentang nekrofilia, penulis menghubungkan gangguan nekrofilia tersebut dengan
beberapa teori dari beberapa tokoh guna lebih memperdalam pada penulisan
analisis kasus. Berikut adalah penjelasan dari teori-teori yang digunakan untuk
menganalisa kasus tersebut :
1. Erich
Fromm : Psikoanalisis Humanistik
Psikoanalisis Humanistis berasumsi bahwa terpisahnya
manusia dengan dunia alam menghasilkan perasaan kesendirian dan isolasi, kondisi
yang disebut sebagai kecemasan dasar (basic
anxiety). Kesadaran diri turut ambil bagian dalam adanya perasaan
kesendirian, isolasi, dan kehilangan tempat berpulang. Untuk melarikan diri
dari perasaan-perasaan ini, manusia berusaha untuk bersatu kembali dengan alam
dan sesama manusia. Oleh karena kecemasan dasar menghasilkan rasa keterasingan
dan kesendirian yang menakutkan, maka manusia berusaha untuk lari dari
kebebasan melalui berbagai macam mekanisme pelarian. Dalam Escape from Freedom, Fromm menyebutkan tiga mekanisme dasar dari
pelarian yaitu Authoritarianism,
Destructiveness, Comformity.
Sifat merusak atau Destuctiveness berasal dari perasaan kesendirian, keterasingan, dan
ketidakberdayaan. Sifat ini merupakan mencari jalan untuk menghilangkan orang
lain. Dengan menghancurkan orang atau objek, seseorang atau sebuah bangsa
berusaha untuk mendapatkan kembali rasa
kekuasaan yang hilang. Orang-orang dengan sifat merusak menghapuskan banyak hal
dari dunia luar sehingga memperoleh keterasingan yang tidak diterima di
masyarakat.
Fromm menyatakan tiga gangguan kepribadian yang
berat−nekrofilia, narsisme berat, dan
simbiosis inses. Istilah “nekrofilia” (necrophilia)
berarti cinta akan kematian dan biasanya mengacu pada kelainan seksual dimana
seseorang menginginkan kontak seksual dengan mayat. Fromm (1964, 1973)
menggunakan istilah nekrofilia dalam arti yang lebih umum untuk menunjukkan
ketertarikan akan kematian. Mereka mendapat kesenangan dengan menghancurkan
kehidupan. Semua orang bertingkah laku agresif dan destruktif sewaktu-waktu,
namun keseluruhan gaya hidup orang-orang dengan nekrofilia adalah seputar
kematian, kehancuran, penyakit, dan pembusukan. Penyebabnya beragam dan kebanyakan
dan dialami mereka akan hal tertentu. Beberapa kondisi ini juga mempengaruhi,
seperti: takut ditolak pasangan, menginginkan pasangan yang tak bisa
menolaknya, atau ke khawatiran untuk meninggal dunia.
J.P Rosman dan PJ Resnick (1989) mengkalirifikasikan
penyebab nekrofilia berdasarkan presentase yang ditemukan yakni, 68% karena
ingin pasangan yang tidak bisa melawan, 21 % didorong keinginan bersatu dengan
pasangan yang telah meninggal, 15% karena daya tarik seksual dari mayat, 15%
untuk alasan kenyamanan, dan 11% karena keinginan memperbaiki harga diri yang
redah dengan menerapkan kuasa penuh atas mayat.
Orang-orang yang memiliki tiga gangguan seperti itu
membentuk apa yang disebut Fromm dengan sindrom pembusukan (syndrome of decay). Ia membandingkan orang-orang
patologis ini dengan mereka yang memiliki sindrom pertumbuhan (syndrome of growth) yang terbentuk oelh
kualitas yang berlawanan, yaitu biofilia, cinta, dan kebebasan positif. Kedua
sindrom ini adalah bentuk ekstrem dari perkembangan. Kebanyakan orang memiliki
kesehatan psikologis rata-rata.
2. Sigmund
Freud : Psikoanalisis
Dalam Psikoanalisis, Freud memperkenalkan model
structural yang terdiri dari tiga bagian. Bagian yang paling primitive dari
pikiran adalah das Es atau
“sesuatu”/”itu” (it) yang diterjemahkan sebagai id. Bagian kedua adalah das
Ich, atau “saya” (I), sebagai ego.
Bagian terakhir adalah das Uber-Ich
atau “saya yang lebih” (over-I) sebagai superego.
Pada individu yang sehat, id dan superego
terintegrasi ke dalam ego yang berfungsi baik dan beroperasi harmonis dengan
konflik yang minim. Adanya hubungan antara id, ego, superego pada tiga individu
secara hipotesis. Pada individu pertama, id mendonimasi ego yang lemah dan
superego yang plin-plan sehingga ego tidak mampu menyeimbangkan antara gigihnya
tuntutan id. Akibatnya, individu ini terus-menerus memuaskan kesenangannya
tanpa memandang apa yang mungkin atau layak. Individu kedua, yang memiliki rasa
bersalah serta perasaan inferior dan ego yang lemah, akan mengalami sederetan
konflik karena ego tidak bisa mengendalikan tuntutan antara superego dan id
yang saling bertentangan, tetapi sama kuat. Sedangkan individu ketiga, yang
memiliki ego kuat dan merangkul tuntutan-tuntutan, baik dari id maupun
superego, sehat secara psikologis dan maupun memegang kendali atas prinsip
kesenangan dan prinsip moralitas.
3. Psikologi
Forensik
Perilaku
dapat disebut sebagai kejahatan hanya jika memiliki 2 faktor: 1) mens
rea (adanya niatan melakukan perilaku), dan 2) actus reus (perilaku
terlaksana tanpa paksaan dari orang lain). Contohnya: pembunuhan disebut
kejahatan ketika pelaku telah memiliki niat menghabisi nyawa orang lain, serta
ide dan pelaksanaan perilaku pembunuhan dimiliki pelaku sendiri tanpa paksaan
dari orang lain. Jika pelaku ternyata memiliki gangguan mental yang menyebabkan
niatnya terjadi diluar kesadaran, contoh: perilaku kejahatan terjadi pada saat
tidur atau tidak sadar, maka faktor mens rea-nya dianggap tidak utuh, atau
tidak bisa secara gamblang dinyatakan sebagai kejahatan, karena orang dengan
gangguan mental tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas perilakunya
(Davies, Hollind, & Bull, 2008).
Selanjutnya,
ketika membicarakan kejahatan kita juga perlu mengidentifikasi pelaku dan
korban. Pelaku adalah orang yang melakukan tindakan melanggar hak dan
kesejahteraan hidup seseorang, sedangkan korban adalah orang yang terlanggar
hak dan kesejahteraan hidupnya. Pada kasus pidana, identifikasi akan berkaitan
dengan pembuatan tuntutan dan pertanggungjwaban hukum. Walaupun begitu,
terkadang tidak mudah mengidentifikasi pelaku dan korban, terutama pada kasus
dimana pelaku adalah korbannya juga, contohnya: pelaku prostitusi sebenarnya
juga adalah korban dari perilakunya.
Kejahatan
secara umum dapat dibedakan dalam beberapa macam: kejahatan personal (pelaku
dan korban kejahatan adalah sama), interpersonal (ada pelaku yang merugikan
orang lain), dan kejahatan sosial masyarakat (efek kejahatan pelaku merugikan
kehidupan orang banyak di masyarakat). Dari segi pelaksanaannya kejahatan juga
bisa dibagi menjadi kejahatan terorganisir (sering disebut kejahatan “kerah
putih” yang memiliki sistem dan perencanaan serta keahlian dalam melakukan
kejahatan) dan tidak teroganisir (kejahatan yang dilakukan tanpa perencanaan
dan dilakukan oleh orang yang belum punya keahlian khusus atau amatir). Secara
pidana, ada beberapa contoh perilaku kejahatan: pembunuhan, tindak kekerasan,
pemerkosaan, pencurian, perampokan, perampasan, penipuan, penganiayaan,
penyalahgunaan zat dan obat, dan banyak lagi yang lain.
B. KASUS
Tak hanya
membunuh dua wanita penghibur yang disewanya, seorang mahasiswa juga bercinta
dengan jenazah mereka. Itu dilakukan seorang mahasiswa Jilin University, sebut
saja Lee, karena tertekan stres.
Seperti
dilansir Daily Mail, Lee yang
seorang mahasiswa desain mengaku gagal di banyak kelas. Ia kemudian menyewa
wanita penghibur untuk meringankan beban pikirannya. Awal Maret 2013, ia
menyewa wanita penghibur berusia 20 tahun bernama Cai.
Suatu pagi, Lee tiba-tiba
terbersit untuk bercinta dengan mayat. Tak bisa menolak nafsu konyolnya, ia
lantas menggantung Cai. Dari Changchun, Lee mengirim jenazah Cai ke rumahnya di
Changpin. Di sanalah ia bercinta. Usai itu, ia memutilasi Cai dan memakamkannya
di halaman rumah. Lee tak hanya melakukannya sekali. Akhir bulan yang sama, ia
melakukan tindakan serupa pada seorang wanita penghibur lain yang disewanya.
Lee mengaku, selama ini ia memang kerap mendapat bisikan soal nekrofilia atau
bercinta dengan mayat.
Psikiater
forensik yang memeriksanya meyakinkan, Lee tidak mengalami gangguan jiwa. Ia
pun harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum. Oleh pengadilan, ia
lalu divonis hukuman mati. Lee juga dikenai denda sekitar Rp161 juta untuk
keluarga korban.
( Dihukum Mati karena
Bercinta dengan Mayat,
C.
ANALISIS KASUS
Dari
kasus diatas, Lee merupakan contoh dari seorang dengan gangguan nekrofilia,
yaitu suatu gangguan kepribadian dari teori Fromm: Psikoanalisis Humanistik.
Lee mempunyai suatu dorongan keinginan untuk melakukan kontak seksual dengan
mayat dan juga punya daya tarik dengan mayat. Itu terbukti saat dia mendapat
bisikan-bisikan nekrofilia dia membunuh korban saat itu juga dan melakukan
kontak seksual setelahnya. Dia bahkan tidak hanya sekali melakukan itu. Ia
melakukannya karena semata-mata kecemasan dasar yang dirasakannya. Kasus Lee
juga mencontohkan tentang sifat merusak atau Destructiveness dari Psikoanalisis Humanistik Fromm. Destructiveness berarti sifat merusak
atau mencari jalan untuk menghilangkan orang lain. Seperti Lee yang mencari
jalan untuk melakukan kontak seksual
dengan mayat, pada akhirnya harus menghilangkan nyawa orang lain yaitu korban
dengan menggantungnya dan berakhir dengan memutilasinya.
Dalam
teori Psikoanalisis, sosok Lee digambarkan seperti id mendominasi ego yang
lemah dan superego yang plin-plian yang mengakibatkan Lee terus-menerus
melakukan kesenangannya tanpa memikirkan baik buruk dari kesenangannya tersebut
dan bagaimana dampaknya. Tanpa ia sadari kesenangannya itu membawanya kepada
tindak pidana hukuman mati. Karena id yang mendominasi inilah membuat Lee tidak
bisa berfikir logis dan bersifat tidak realistis. Dengan kasus nekrofilia ini,
ini menunjukkan bahwa id tidak mempunyai moralitas. Lee melakukan hal seperti
ini atas dorongan dari id yang semata-mata dicurahkan untuk memuaskan prinsip
kesenangannya (pleasure principle)
tanpa peduli apakah kesenangannya tersebut pantas dan sesuai atau tidak dimata
masyarakat lainnya.
Kasus
Lee ini dalam psikologi forensik, mencakup dua factor yang ada yaitu mens rea dam actus reus. Adanya niatan Lee untuk membunuh korban dan melakukan
kontak seksual dan juga Lee melakukannya tanpa paksaan dari siapapun. Tindakan
yang dilakukan Lee merupakan suatu tindak pidana seperti pembunuhan, kekerasan,
dan juga pemerkosaan terhadap korban yang sudah tidak bernyawa. Tindakannya
tersebut dikena hukuman mati karena kejahatannya yang sudah menghilangkan dua
nyawa manusia dan atas tindakan yang tidak terpuji lainnya. Lee tidak mendapat
keringanan hukuman seperti pelaku dengan gangguan kejiwaan, karena Lee
mengalami gangguan kepribadian bukan kejiwaan.
BAB III
Penutup
A.
KESIMPULAN
Nekrofilia adalah cinta akan kematian dan biasanya
mengacu pada kelainan seksual dimana seseorang menginginkan kontak seksual
dengan mayat. Nekrofilia bukanlah suatu gangguan kejiwaan, melainkan suatu
gangguan kepribadian. Nekrofilia mempunya dua jenis fenomena, yaitu nekrofilia
seksual dan juga nekrofilia non-seksual. Pada kasus Lee ini merupakan gabungan
dari keduanya. Pada penulisan ini digunakan beberapa teori dari beberapa tokoh,
seperti Psikoanalisis Humanistik dari Erich Fromm, Psikoanalisis dari Sigmund
Freud, dan Psikologi Forensik. Kasus Lee merupakan contoh dari gangguan
kepribadian nekrofilia dimana nekrofilia merupakan gangguan kepribadian dari
teori Psikoanalisis Humanistik Fromm. Dalam makalah ini, analisis kasus Lee
juga menggunakan teori Psikoanalisis Freud dimana id mendominasi ego dan
superego yang mengakibatkan kesenangan yang terus-menerus. Oleh karena id yang
mendominasi, ini membuat Lee jadi tidak bisa berfikir logis dan realistis. Setelah
itu ada Psikologi Forensik, untuk mengetahui factor apa saja yang terdapat
dalam kasus tersebut dan apa akibat dari tindakannya itu.
B.
SARAN
Menurut penulis, gangguan ini bisa mendapatkan
terapi dari seorang terapis. Seperti terapi di Psikoterapi Erich Fromm, terapis
akan mengarahkan pasien untuk mengungkapkan tentang mimpi-mimpinya. Karena
mimpi memiliki arti di balik individu
pemimpi, maka Fromm akan meminta asosiasi pasien terhadap ,ateri mimpi
tersebut. Juga bisa menggunakan Teknik Terapeutik Freud melalui asosiasi bebas
(free association), dimana pasien
diminta untuk mengutarakan setiap pikiran yang muncul dalam benaknya, tanpa
memandang apakah pikiran tersebut ada atau tidak ada hubungannya ataupun
menimbulkan rasa jijik. Kita juga bisa mengarahkan seorang nekrofilia yang
anti-sosial untuk bisa bersosialisasi terhadap lingkungannya agar ia tidak
merasa terasingkan dan membantu menghilangkan sikap cemasnya. Mengarahkan
padanya bahwa apa yang dia lakukan merupakan suatu hal yang tidak dibenarkan. Membantunya
mencari “kesenangan” yang lainnya yang bersifat positif. Menghindarinya dari
segala hal yang bersangkutan dengan mayat, seperti tidak bekerja di kamar mayat
rumah sakit, bekerja sebagai pemandi mayat, dan lain sebagainya.
DAFTAR
PUSTAKA
Feist, J., & Feist, G. J. 2014. Teori Kepribadian, Buku 1 Edisi 7.
Jakarta: Salemba Humanika.
Feist, J., & Feist, G. J. 2014. Teori Kepribadian, Buku 2 Edisi 7.
Jakarta: Salemba Humanika.
Markam, Suprapti Slamet I.S.
Sumarmo. 2003. Pengantar Psikologi Klinis.
Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press).
VIVA News oleh Rizki Sekar Afrisia
pada Selasa, 31 Desember 2013, 07:52 WIB.
Judul
Kasus : Dihukum Mati karena Bercinta dengan Mayat
Mengapa Orang Melakukan Kejahatan? Oleh: Margaretha pada 12 Oktober 2012
Kisah Nyata Seorang Nekrofilis.
Oleh: Imam pada 25 Mei 2012